Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2011: Mempertanyakan Kembali Komitmen Negara khusunya di Kabupaten Klaten dalam Pemenuhan Hak Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
di Kabupaten Klaten
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Klaten masih cukup tinggi, baik jumlah maupun kualitas kekerasannya. Kasus yang terlaporkan di lembaga anggota P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) MUTIARA pada tahun 2006 sampai dengan 2010 sebanyak 470 kasus. Secara terperinci jumlah tersebut sebagai berikut:
Tahun |
Jumlah Kasus |
Catatan : pada tahun 2010 data dari RSUP dan Polres hanya sampai bulan September |
2006 |
46 |
2007 |
69 |
2008 |
87 |
2009 |
138 |
2010 |
130 |
Pada semester pertama tahun 2011 (hingga bulan Juli) terlaporkan ada 51 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 33 kasus kekerasan terhadap anak.
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Klaten masih menjadi pekerjaan rumah yang selalu berulang. Hal ini serupa dengan berbagai wilayah lain di Indonesia. Berbagai hal yang masih menjadi persoalan dalam hal pencegahan, penanganan dan rehabilitasi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis gender di Kabupaten Klaten antara lain adalah:
- Belum terbangunnya perspektif gender, anak dan korban secara lebih baik di tingkat SKPD dan aparat penegak hukum. Hal ini terlihat dari:
– Masih sedikit anggota P2TP2A MUTIARA yang memiliki persamaan persepsi tentang korban: yang bisa terlihat dalam penanganan ABH (anak yang berhadapan dengan hokum) baik anak korban, anak saksi dan anak pelaku), Anak Jalanan, ESKA (eksploitasi seksual komersial anak), Pekerja Anak ataupun kasus anak yang lain yang terjebak pada stigma/pelabelan negatif.
– Masih lemahnya penerapan pasal-pasal dalam UU PKDRT
– Masih adanya oknum polisi yang menawarkan “Restoratif Justice”, percepatan proses, penutupan perkara, dan tahanan luar dengan suatu kompensasi tertentu untuk pelaku diatas usia anak.
– Ada anak pelaku pelanggaran dikeluarkan dari sekolahan meskipun masih tahap proses hukum dan belum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap.
– Jaksa masih seringkali menggunakan tuntutan maksimal untuk memberikan tuntutan kepada anak.
– Masih banyak hakim yang tidak menggunakan UUPA sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan terhadap ABH.
– Belum adanya tempat khusus bagi anak di LAPAS yang jauh dari orang dewasa, blok anak berada diantara blok orang dewasa.
– Proses pendidikan anak terpaksa berhenti karena tidak ada layanan pendidikan di dalam LAPAS.
– Kasus kekerasan seksual (perkosaan) masih ada yang dikategorikan delik aduan sehingga ketika korban mencabut perkara diperbolehkan oleh aparat
- Lemahnya dukungan lembaga pendidikan pada korban. seringkali korban yang membutuhkan dukungan dari sekolah dalam proses rehabilitasi justru mendapat stigma dan pelabelan dari sekolah sebagai anak yang berperilaku negatif.
Contoh kasus kekerasan seksual tahun 2011
Berikut ini adalah peryataan korban :
Dalam kondisi yang kacau dan takut saya diintrogasi. Saya ditanya “apa benar saya melapor ke POLRES dan telah melakukan hubungan sex”. Saya jawab iya karena diancam dan dibawah tekanan. Tetapi pihak kemahasiswaan tidak memperdulikan saya jadi korban, saya disalahkan karena telah berhubungan sex dan sudah melanggar aturan agama. Kemudian saya diminta tanda tangan pada kertas sebagai bukti bahwa saya telah melanggar aturan kampus. Dan bukti itu sebagai ‘senjata’ untuk mengeluarkaku dari kampus.
- Minimnya program/kegiatan dalam dinas/SKPD terkait yang bisa diakses korban dari proses penanganan hingga pemulihan.
– Sebagai contoh, masih minimnya rehabilitasi ekonomi bagi korban KDRT yang sebelumnya sangat bergantung pada suami. Dinas Sosial tidak memiliki program rehabilitasi ekonomi untuk perempuan korban KDRT yang terintegrasi dalam P2TP2A.
– Minimnya penguatan psikologis bagi korban di pelayanan kesehatan dasar karena kurangnya tenaga terlatih.
- Belum terlihat alokasi anggaran secara khusus untuk :
– Peningkatan kapasitas petugas layanan P2TP2A MUTIARA
– Peningkatan kapasitas di internal SKPD terkait
– Peningkatan dan penguatan di tingkat masyarakat untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus secara berkesinambungan.
- Masih terbatasnya regulasi/kebijakan yang memiliki perspektif terhadap korban. Hal ini bisa ditunjukkan dengan penanganan korban yang belum sesuai dengan SOP P2TP2A MUTIARA, artinya korban belum mendapatkan pelayanan secara khusus sesuai dengan SOP.
Dengan melihat dan menemukan fakta bahwa layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan masih membutuhkan perhatian yang lebih, organisasi peduli perempuan dan anak yang tergabung dalam P2TP2A MUTIARA mendesakkan pada pemerintah Kabupaten Klaten melalui SKPD terkait (tidak ditumpukan pada bagian kesra saja khususnya bidang yang menanggani pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak) untuk :
- Mensinergikan program dan kegiatan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan dari P2TP2A MUTIARA.
- Berperan aktif dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
- Meningkatkan koordinasi antar SKPD terkait dalam menyediakan layanan bagi korban.
Penanganan korban kekerasan harus dilakukan secara komprehensif. Tanggung jawab semua untuk membangun Klaten yang melindungi anak-anak dan perempuan. Bangun Klaten yang damai tanpa kekerasan.
Klaten, 5 Desember 2011
P2TP2A Mutiara Klaten