Posts Tagged ‘kekerasan berbasis gender’

Pendahuluan

Kelembagaan (institutions) didefinisikan sebagai aturan-aturan dalam setiap struktur social, baik berwujud hukum, peraturan, penegakannya, kesepakatan-kesepakatan dan prosedur-prosedur (Alaerts, 1997) . Sedangkan lembaga sosial (social institution) adalah organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yg dianggap penting. lembaga berkembang berangsur-angsur dari kehidupan sosial manusia bila kegiatan penting tertentu dibakukan , dirutinkan, diharapkan dan disetujui, maka perilaku tersebut sudah melembaga. peran yg melembaga adalah peran yg telah dibakukan, disetujui dan diharapkan, dan biasanya dipenuhi dengan cara yg sungguh-sungguh dan dapat diramalkan . lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yg oleh masyarakat dipandang penting , atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yg berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. lembaga adalah proses-proses terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. jadi lembaga bukan : bangunan , kelompok atau organisasi. Lembaga sosialpun tidak bisa lepas dari struktur sosial. Struktur sosial budaya dalam masyarakat membentuk pranata Sosial yang diyakini dan dihidupi oleh masyarakt setempat. Pranata sosial itu sendiri adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan dasar tertentu dalam masyarakat. Pranata sosial lebih mengarah pada organisasi sosial tidak formal, karena perilaku berdasarkan norma ini biasanya membentuk pembedaan status sosial bertingkat. Seperti misalkan muncul istilah tokoh masyarakat, sesepuh (yang dituakan) atau ‘orang pintar’ (baca: orang yang mempunyai keahlian khusus). Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Maka ada istilah “lain ladang lain belalang”. Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat juga dipengarhui oleh banyak hal, misalkan teknologi, pendidikan bahkan politik. Karena itulah meskipun dijalani dari generasi ke generasi lembaga sosial bersifat dinamis. Pada umumnya fungsi kelembagaan adalah sebagai pedoman tingkah laku, baik tingkah laku organisasi maupun tingkah laku individu seperti warga desa Pacing melihat dan menanggani kasus kekerasan berbasis gender.

Kearifan lokal dalam penangganan kasus-kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing

Peta Desa Pacing

Desa Pacing merupakan bagian dari Kecamatan Wedi yang terletak sekitar 7 Km dari jalur transportasi utama antar propinsi. Desa dengan luas wilayah 108 Ha, sekitar 77 Ha (71,3 %) merupakan tanah sawah dengan irigasi setengah teknis. Sisanya sebagian besar adalah untuk rumah, bangunan dan pekarangan. Desa Pacing terdiri dari 3 dukuh, yaitu Dukuh Karangasem, Pacing dan Tegalsari, 6 RW dan 12 RT. Secara umum penduduk Desa Pacing adalah buruh (30%), petani (20%), pedagang (15%) dan lainnya (karyawan, PNS, IRT dan pelajar). Rata- rata buruh adalah buruh tani dan buruh pabrik tembakau dan buruh bangunan. Sebagian besar penduduk yang menjadi buruh sifatnya musiman. Saat musim tanam, mereka kembali menggarap sawah. Jauh sebelum ada undang-undang tentang perlindungan anak (UUPA), Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) atau undang-undang Tindak Pindana Perdagangan Orang (UU TPPO) masyarakat Pacing sudah mempunyai aturan atau norma dalam memecahkan kasus-kasus terkait kekerasan berbasis gender. Sistem tak tertulis yang terbangun didalam kelembagaan sosial ini adalah, korban biasanya mengadu pada tokoh masyarakat lalu ada mediasi diantara pelaku dan korban yang juga dihadiri oleh ketua RT atau ketua RW. Biasanya kasus-kasus KDRT yang biasa ditanggani oleh masyarakat umum (melalui kelembagaan sosial) masih sebatas kasus-kasus yang sudah menyangkut nyawa (kekerasan fisik). Pernah juga ada kejadian, ditengah jalan ada seorang laki-laki memukul seorang perempuan. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang tokoh masyarakat. Lalu tokoh masyarakat tersebut meminta bantuan beberapa pemuda untuk melerai dan terlebih menyelamatkan siperempuan. Tapi sayangnya emosi pemuda bangkit ketika si laki-laki (pelaku) tidak terima urusannya dicampuri. Bagi warga setempat (Pacing) urusan tersebut sudah menjadi urusan bersama (kekerasan fisik). Maka yang terjadi adalah si pelaku dikeroyok pemuda hingga babak belur. Setelah itu diketahui bahwa pelaku dan korban adalah sepasang suami-istri. Satu contoh tersebut dapat mengambarkan bahwa kekersan fisik tidak pantas langgeng didesa tersebut apalagi pelaku dan korban tidak setara (bukan lawannya). Berdasarkan penuturan pak Sri (salah satu tokoh masyarakat) “didaerah ini yang harus dibela terlebih dahulu jika ada kasus adalah perempuan dan anak. Apalagi perempuan janda”. Maka tidak heran contoh kasus diatas, hal pertama yang diambil oleh pemuda adalah melerai dan membantu si perempuan. Memprioritaskan perempuan dan anak juga tampak dalam respon tanggap darurat ketika ada bencana gempa bumi didesa ini. Yang ditolong pertama adalah perempuan dan anak. Kembali kekasus kekerasan berbasis gender. Seiring berjalannya waktu bentuk kelembagaan mulai dibenahi. Karena kasus-kasus dalam rumah tangga tidak hanya sebatas masalah fisik semata. Kasus kekerasan terdiri dari : kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Paradigma baru ini tidak mudah diterima oleh masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan kesetaraan gender. Masyarakat masih menganggap tabu mengurusi urusan rumah tangga orang lain (kecuali kekerasan fisik yang berujung maut). Pernah terjadi kasus kekerasan seksual (pemerkosaan anak 5tahun) bukan dianggap kasus kekerasan, karena bukan fisik. Maka kasus itu Cuma dianggap aib dan untuk meredakan masalah sianak (korban) pindah rumah. Maka Pendampingan dari luar dibutuhkan (tentu bekerjasama dengan warga setempat) agar kearifan lokal yang sudah ada untuk penanganan kasus tidak jalan ditempat. Benturan antara cara berpikir masyarakat secara umum dan penegakan hak asasi manusia terus terjadi jika tidak ada pendidikan kritis. Bekerjasama dengan warga yang terbuka dan sevisi mempermudah jalan mendiskusikan ulang kearifan lokal atau kelembagaan ini desa Pacing. Untuk mempercepat proses pendidikan kritis masyarakat maka dibutuhkan afirmatif action. Didesa Pacing ada kelompok yang secara khusus dibentuk oleh warga sendiri untuk menjadi pendamping jika ada kasus-kasus berbasis gender atau kasus anak. Hal ini untuk meminimalisir penolakan masyarakat seandainya ada kasus dalam rumah tangganya yang pada prisnipnya melanggar hak asasi manusia. Dan disisilain kelompok ini melindungi pendamping dari ancaman pelaku. Kelompok yang berkonstribusi dalam memperbaiki kelembagaan sosial terkait kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing ini diberi nama “Pos Pelayanan Terpadu Perlidungan Anak dan Perempuan”.

Pos Krisis diKkomunitas

Penutup

Proses membenahi kelembagaan sosial ini seiring dengan tujuan kemanusiaan, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat manusia. Seperti kejadian kasus perkosaan yang belum dianggap kejadian luar biasa secara kelembagaan sosial didesa Pacing (dan bisa jadi dibanyak daerah lainnya) maka sangat penting melibatkan banyak pihak yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama maupun perangkat desa untuk melakukan penyadaran bersama. Berdasarkan data SPEK-HAM sepanjang tahun 2011 yang paling menonjol selain KDRT adalah kekerasan seksual sebesar 38%. Bentuk kekerasan seksual adalah perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, dan pada tahun 2011 yang paling sering dilaporkan adalah perkosaan. Mengapa di kekerasan seksual justru banyak terjadi diwilayah pedesaan ? pertanyaan tersebut pasti akan muncul dan melahirkan berbagai asumsi. Apalagi jika mengetahui bahwa korban-korbannya masih anak-anak. Apakah moral masyarakat sudah merosot tajam, ataukah tidak paham soal seksualitas karena selama ini dianggap tabu ? Persoalan ini tidak sekedar berkaitan dengan moral saja. Kecenderungan pelaku kekerasan seksual sudah berusia dewasa dan berkeluarga, dengan pekerjaan sebagai petani, buruh serabutan, bahkan pengangguran. Ada pendapat bahwa seks bisa menjadi sarana rekreasi untuk menghilangkan stres. Tekanan hidup yang semakin berat saat ini dengan harga kebutuhan hidup yang semakin mahal sementara pendapatan tidak bertambah bisa saja menimbulkan stres. Kemudian untuk menghilangkan stres “pelaku” melakukan tindak kekerasan seksual. Melihat fakta diatas, sangat penting untuk membenahi kelembagaan sosial didaerah lain agar wujud norma yang baik dapat tercapai, karena nyatanya kasus kekerasan berbasis gender tersebar dimana-mana (tidak hanya diPacing).

Daftar Pustaka

Anonim, 2012 Peryataan ini dikutip http://massofa.wordpress.com/2007/12/14/pert-9/

Lestari, Eny, 2012 dipresentasi dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial kelas Pasca sarjana bulan Januari 2012

Molo, Dr M, 2011 disampaikan dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial pasca sarjana bulan desember 2011

SPEK-HAM, 2008. Fieldnote komunitas Pacing dalam program Women Access to Justice

SPEK-HAM, 2011. Data Kasus Kekerasan berbasis gender se Solo raya

Kabar hari ini. ”wah mesake tenan j mbak, untung ada mb yahmi tetangga dekatnya dan dengan senang hati jadi pendampingnya. Semua keluarga korban ki malah nyalahke korban kabeh. Ini lakine baru datang”(Kasihan mbak, beruntung ada mb yahmi tetangga dekatnya dan dengan senang hati bersedia menjadi pendampingnya. Semua keluarga menyalahkan korban. Ini suaminya baru saja datang).

KtPA

Pesan singkat ini disampaikan oleh seorang ibu rumah tangga yang berani menyuarakan jika ada ketidakadilan gender disekitarnya. Dan untuk kesekian kalinya, korban selalu salah dan menjadi korban lagi. Kasusnyapun dianggap biasa karena seorang istri harus ngalah meski akan dimadu. Suami korban (pelaku) telah menghamili perempuan lain. Pilihan korban ada dua : bersedia dimadu atau cerai. Pilihan pertama jelas ditolak. Pilihan keduapun tidak mulus. Karena ada indikasi pelaku tidak akan menceraikan tapi mengantung status korban. Saat ini korban memilih diam dan tidak akan menceraikan. Alasannya tidak ingin waktunya terbuang untuk mengurusi perceraian (karena harus bekerja untuk menghidupi diri dan anaknya). Peristiwa perceraian itu bukan barang langka. Karena bukan barang langkah itulah kebiasaan menyalahkan korban (perempuan) juga bukan hal yang melanggar keadilan dan kemanusiaan.

Kasus ini dibulan januari, awal bulan ditahun 2012. Masih ada 11 bulan lagi, masihkah kasus lain akan menyusul dan “perempuanlah” yang salah?

Workshop sudah selesai. Beberapa teman masih berkumpul untuk berbicara tentang strategi riset kepuasan masyarakat Klaten terhadap kinerja Bupati dalam satu tahun pemerintahannya.

Pelan tapi pasti pembicaraan beralih menjadi sharing pengalaman pribadi. Obrolan ini diungkapkan oleh seorang yang termasuk pemimpin agama diKlaten. Ceritanya “teman saya diJakarta bilang pada saya. (Gus….Kabupatenmu itu hampir bangkrut. Kenapa kamu masih saja sibuk ngajar ngaji)”. Terang saja semua yang ada disitu tertawa, tak kecuali aku. Padahal dalam hati aku ikut menertawakan diriku sendiri, bukankah itu juga terjadi dilembaga agamaku. Ungkapan itu ‘menamparku’ kuat sekali. Iya…masih banyak yang masih sibuk ‘diseputar altar’ tak peduli dengan kehidupan disekitarnya. Apa dikira kalau sudah sibuk ngaji dan seputar altar permasalahan akan selesai dengan sendirinya. Bukan berarti saya tidak setuju dengan kebiasaan berdoa. Jelas itu sangat penting. Sharing si Gus tidak berhenti disitu saja.

anak dalam dekapan bundanya

Katanya “Para pemimpin agama itu gembar-gembor ngomong tentang gender tapi kok istrinya dimana-mana”  (dalam hati lagi saya juga berpikir, iya sih…ada juga pemimpin agamaku menjadi pelaku kekerasan juga. Pokoknya sebelas dua belas. Mirip.) lanjutnya “LSM diKlaten ini 80% diisi oleh orang-orang tua yang ujung-ujungnya juga minta amplop” (LSM yang dimaksud adalah LSM yang terdaftar atau mendaftarkan diri dikesbanglinmas dan biasanya dapat anggaran dari APBD).

Terimakasih Gus atas pelajaran hari ini. Senang ngobrol dengan anda. Sangat berharap laen waktu disambung. Mari kita buat perubahan bersama. Meski berawal dari hal yang sangat kecil.

Memasuki hari kelima ditahun 2012.  Semua masih biasa saja. Atau sesuatu yang biasa ini adalah pertanda dari sesuatu yang luar biasa. Seperti kata pepatah ini “ingin menjadi luar biasa itu hal biasa, tapi ingin menjadi biasa itu baru luar biasa”.

Diawal tahun ini pembicaraan tentang tubuh perempuan masih menarik untuk selalu dibahas. Apa yang salah jika seorang perempuan berpakain seksi?  Yaelah…bukankah pertanyaan itu tidak perlu ditanyakan. Begini komentar yang masih mendominasi “budaya timur, etika, mencegah kejahatan, sopan santun dan laen sebagainya”demi alasan itulah maka tubuh perempuan harus diatur.

karena rok ini kah???

Ini sudah masuk abad berapa sih? Kok ya alasannya tidak berubah. Memang paling mudah itu menyalahkan orang lain (baca: korban)  ketimbang diri sendiri (baca: pelaku).

Enak benar nasibmu wahai para pelaku. Meski salah dan layak dihukum kamu bisa bebas dan masih saja tertawa diatas penderitaan korban.

Dan kau korban,,,masih harus bersabar untuk mendapatkan hakmu.

——————-

Entering the fifth day in 2012. All was normal. Or something unusual this is a sign of something extraordinary. As the saying goes it “wants to be extraordinary ordinary things, but wants to be ordinary is just remarkable ‘.
Earlier this year talks about the female body is still exciting to always be discussed. What is wrong if a woman dressing sexy? Hem… is not a question that does not need to be asked. Here’s a comment that still dominate the “eastern culture, ethics, prevent crime, polite ect” for this reason that the female body should be set.
It has entered what century anyway? The reason why it has not changed. It’s easiest to blame someone else (read: victims) rather than its own (read: perpetrator).

So lucky you…..perpetrator, Although one deserves to be punished and you can freely and still be laughing over the suffering of victims.
And you’re the victim,,, still have to be patient to get yours by right

Sudah selesai. Tahun 2011 telah sukses dilalui. Apapun yang terjadi tahun lalu adalah masa lalu dan esok adalah sebuah misteri. Masih ada masa sekarang yang bisa kita lalui juga. Masa esok yang masih misteri inipun bisa dilalui dengan baik dan benar jika kita mampu berkaca (baca: refleksi) kejadian masa lalu. Terkhusus untuk bangsaku ini- akankah angka kemiskinan masih sama? Akankah kasus kekerasan malah bertambah? (datanya 125 Jt rakyat hidup dibwh garis kemiskinan 36 jt pengangguran 67 juta buruh di bayar dibawah upah layak, 102 kasus kekerasan, aparat) Berarti perjuangan belum usai. Sangat berharap bagi para pejuang masih berjuang dan hingga tetes darah penghabisan, jangan lelah meski usaha ini melelahkan.mari jalani tahun 2012

Teriring doa dan dibalut semangat untuk pahlawan jaman sekarang. Selamat jalan 2011 dan selamat datang 2012

Semua orang melewati sebuah masa yang disebut dengan masa kanak-kanak. Masa dimana setiap orang mempersiapkan diri untuk melanjutkan masa selanjutnya. Entah dimana anak itu berada keluarga adalah lingkungan terdekat yang selalu didamba. Tak peduli hidup dikolong jembatan, dikaki gunung berapi, ditepi sungai, atau bahkan diistana sekalipun.

"Biarlah aku tumbuh dan berkembang dengan baik"

Ada banyak teori yang menggambarkan kehidupan anak. Teori yang menyatakan bahwa anak itu seperti kertas kosong atau teori bahwa anak akan mengikuti jejak orang tuanya atu teori yang lain. Apapun kerangkanya, kehidupan anak saat ini sangat berbeda dengan dulu.  Ada apakah dengan anak?

Cerita berikut mengambarkan ‘kepolosan’ seorang anak tentang wilayahnya dan begitu berharganya keluarga bagi dirinya.

Gunung Di Desaku : Catatan Dania Dari Posko Pengungsian[2]

Desaku adalah desa yang indah. Desaku penuh dengan gunung merapi yang sangat besar. Gunung yang berdiri kokoh sejak dulu sebelum aku lahir. Gunung ini setiap hari mengeluarkan asap, didekatnya terdapat gunung yang sudah tidak aktif dan juga banyak pohon yang subur. Namun banyak penebangan liar , padahal sudah dilarang oleh pemerintah.

Pada hari minggu desaku disuruh untuk mengungsi.  Namun ada yang tidak mau, kalau belum bahaya sekali. Semua orang yang dekat dengan kawasan gunung merapi dikasih masker untuk berjaga-jaga, jika ada sesuatu dari gunung berapi. Pada tanggal 25 oktober 2010 desaku hujan abu. Hujan berasal dari gunung, yang tandanya gunung meletus. Semua mengungsi. Semua menunggu mobil dan berkumpul di titik pengungsi. Saya masuk mobil. Setelah sampai dipengungsian, semua mendaftar lalu masuk gedung penggungsian. Malam hari semua tidur namun tidurnya kurang nyenyak karena memikirkan keadaan rumah dan takut. Dan pagi-pagi dikasih peralatan mandi. Aku gosok gigi, cuci muka. Aku dan teman-teman tidak mandi pagi, karena dipengungsian kekurangan air. Aku kalau mandi hanya sore itupun harus menghemat air. Sudah cuci muka lalu sarapan pagi.

Kumpul untuk sekolah. Sekolahku gabung dengan SD 1 Bawukan. Kami berkenalan. Awal-awalnya mereka baik tapi lama kelamaan mereka marah pada SD kami. Mereka marah, gara-gara SD kami ngungsi di SD Bawukan sehingga mereka harus belajar dirumah orang. Hari berikutnya SD Balerante dipaksa sama pak guru untuk gabung dengan SD bawukan. Tapi kami tidak mau soalnya takut kalau dimarahi lagi, akhirnya bu guru memutuskan sekolah ditenda. Kegiatannya tidak padat seperti disekolahan Balerante.

Setelah pulang ada mbak-mbak ngajak bermain. Ada mbak Dian, mbak Maria dan mbak Ida, ngajak kenalan setelah itu mereka ngajak bermain, lomba melukis dan lainnya. Kesedihan adik-adik yang ngungsi jadi sedikit terhibur.

Setelah selesai lalu mandi terus TPA. Waktu TPA juga diajari berbagai surat, cara-cara wudhu. Malamnya ada panggilan untuk makan. Kami makan dengan tempe, sayur, krupuk. Walau makan dengan sederhana rasannya enak, soalnya makan dengan orang banyak.

Hari berikutnya, aku bangun tidur lalu melakukan kegiatan belajar. Tiba-tiba semua orang panik karena gunung meletus lagi. Ada yang bilang desaku sudah hancur karena terkena “wedus gembel” atau awan panas. Padahal orang tuaku dan adikku sedang pulang untuk melihat keadaan rumah. Jadi aku panik dan nangis. Aku menunggu orang tuaku dan berdoa agar orang tuaku  selamat.

 Lalu apa kaitan penggalan cerita tersebut dengan KHA & UUPA? Silahkan merangkai sendiri akhir kisah ini. Anda boleh menjadi sutradara atas kisah diatas.

Satu hal yang pastinya membedakan anak dan orang tua. Anak belum pernah menjadi orang tua, sedangkan orang tua pasti pernah menjadi anak. Serangkaian kata bijak mengajak kita belajar dari pengalaman karena “Pengalaman adalah guru yang paling berharga”

-Berhenti disini dulu-

Sekarang kita menenggok kebelakang, mengetahui latar belakang KHA[3].

Bermula dari perang dunia pertama (PD I). Dimanapun dan kapanpun perang terjadi pasti akan menyisakan penderitaan. Begitu pula PD I, akibat perang banyak diderita oleh perempuan dan anak. Aktifis perempuan dalam pawai protes membawa poster-poster yang meminta perhatian public atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Eglantyne Jebb, seorang aktifis perempuan mengembangkan sepuluh butir peryataan tentang hak anak pada tahun 1923 lalu diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Liga bangsa-bangsa mendeklarasikan Hak Anak pada tahun 1924, biasa disebut “Deklarasi Jenewa”. Selanjutnya pada tahun 1948 (berkahirnya PD II) majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia. Hari hak asasi manusia diperingati setiap tanggal 10 desember. Hari tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM.

Berikut adalah tahun-tahun penting sejarah perkembangan Konvensi Hak Anak:

ü  1923 :Eglantyne Jebb (pendiri Save the Children) membuat rancangan Deklarasi Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child)

ü  1924 : Deklarasi Hak Anak diadopsi oleh Liga Bangsa Bangsa

ü  1948 :Majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universall Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights)

ü  1959 : PBB mengadopsi Hak Anak untuk kedua kalinya

ü  1979 : Tahun Anak Internasional. Suatu kelompok kerja dibentuk untuk membuat rumusan KHA

ü  1989 : KHA diadopsi oleh majelis umum PBB pada tanggal 20 November

ü  1990 : KHA mulai berlaku sebagai hokum internasional pada tanggal 2 september

Di negara kita, Indonesia telah meratifikasi KHA dengan keputusan presiden no 36/1990 tertanggal 25 agustus 1990 dan mulai berlaku 5 oktober 1990 (sesuai pasal 49 ayat 2 yang berbunyi “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keiukutsertaannya pada Konvensi Hak Anak setelah diterimanya instrumen ratifikasi  atau instrumen keikutsertaann yang keduapuluh, konvensi ini berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimannya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan”. Konsekuensi logis dari ratifikasi adalah negara (dalam hal ini adalah pemerintah) wajib menghormati, melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak-hak anak khususnya yang terkandung dalam KHA.

Empat bagian berdasarkan struktur KHA, adalah ;

q    Preambule (mukadimah) à berisi konteks KHA

q    Bagian satu (pasal 1-41) à  mengatur hak bagi semua anak

q    Bagian dua (pasal 42-45) à mengatur pemantauan dan pelaksanaan KHA

q    Bagian tiga (pasal 42-45) à mengatur masalah pemberlakuan konvensi

Empat prinsip umum yang terkandung dalam KHA ;

v    Non diskriminatif

v    Yang terbaik bagi anak (best interets of the child)

v    Hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the right to life, survival and development)

v    Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)

Meski Indonesia telah meratifikasi KHA pada tahun 1990, negara Indonesia baru mampu mewujudkan dalam Undang-Undang khusus (lex spesialis) Anak pada tahun 2002. Yaitu UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Beberapa isi pokok UU PA adalah :

—     Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (termasuk yang masih dalam kandungan)

—     Hak dan kewajiban anak (hak anak : Hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi)

—     Kewajiban dan tanggung jawab (ex: pasal 21 “negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/mental”)

—     Kedudukan anak (identitas anak dan anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran); kuasa asuh; perwalian; pengasuhan dan pengangkatan anak.

—     Penyelenggaraan perlindungan (agama, kesehatan, pendidikan, sosial, perlindungan khusus)

—     Peran masyarakat, komisi perlindungan anak Indonesia

—     Ketentuan Pidana (dalam UU ini tidak hanya mengatur hukuman hukuman penjara paling lama sebagaimana UU pada umumnya, tapi juga mengatur UU paling singkat rata-rata 3 tahun seperti  pasal 81, 82 dan 83). Sekarang kita lanjutkan cerita singkat pembuka diatas. Dalam cerita tersebut sangat jelas hak anak terabaikan oleh lingkungan terdekat. Kebutuhan dasar dan hak dasar (basic need and basic rights) anak hanya menjadi jargon musiman (baca: PEMILU). Jangankan pendidikan atau kesehatan, pangan yang merupakan kebutuhan sangat mendasar saja masih membutuhkan belas kasih. Lalu sejauh mana implementasi UU PA menjamin Hak Anak?

Kajian permasalahan diatas belum ditambah dengan kasus gizi buruk, anak putus sekolah & angka buta aksara. Katidakadilan terhadap anak khususnya bidang kesehatan terlihat dari angka kematian bayi (AKB) 26 per 1.000 kelahiran. Penyebabnya antara lain pendarahan, infeksi, kurang gizi dan darah, dan status sosio ekonomi yang rendah. Anggaran APBD tahun 2009 khusus untuk posyandu kabupaten Klaten sejumlah 300 juta (untuk 26 kecamatan atau 401 desa, bisa diasumsikan satu desa mendapat 748.130 ribu rupiah saja. Jika dalam satu desa ada 50 balita, maka gizi anak dalam setahun seharga Rp 15.000).

Dalam bidang pendidikan pemerintah mencanangkan sekolah gratis. Tapi nyatanya pemerintah lokal belum mampu membuat Peraturan daerah tentang pendidikan untuk mengimplementasikan sekolah gratis tersebut. Di Kabupaten Klaten, harian Republika mencatat tahun 2009 terdapat 6.110 anak tidak sekolah dan 4.283 anak putus sekolah.

Sekarang berpindah kekasus anak yang dikeluarkan sekolah (diposisikan agar mengundurkan diri) karena suatu kasus. Kasus pertama karena hamil, hampir bisa dipastikan jalan keluar bagi anak yang sedang hamil adalah ’mengundurkan diri dari sekolah’. Apa yang akan dilakukan anak setelah keluar dari sekolah? Bagimana dengan masa depannya yang masih panjang. Bijakah memutuskan anak agar tidak melanjutkan sekolah? Meski tak bisa dipungkiri selembar ijazah sangat bermanfaat nantinya (atau alasanya, ”kan bisa ikut kejar paket”. Samakah nilai psikisnya??)

Masih ada lagi kasus terkait dengan anak berhadapan dengan hukum. Benarkah mengeluarkan anak dari sekolah karena mencuri adalah langkah terbaik? Atau memenjarakan anak karena tawuran adalah solusi?  ”biar jera katanya”

Kala itu saya mencoba bertanya dalam forum anak klaten (FORANKLA) ”akhir-akhir tahun ini, berapa temanmu yang dikelaurkan karena hamil?”dari 10 anak yang hadir jumlah kasusnya mencapai 4

Berdasarkan data P2TP2A Mutiara Klaten, kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat (paling tidak jika dilihat dari kualitas kasusnya)

Tahun

anak

total

2006

16

46

2007

31

69

2008

33

87

2009

63

138

2010*

47

130

2011

33

54

Nb –2010 data hanya sampai bulan septembr dan tahun 2011 baru semester I

Akankan cerita diatas selalu ada disekitar kita? Entah kapan akan berakhir. Misteri, mungkin itu jawaban pembenaran yang bisa kita berikan.

“Jika anak-anak merasa diterima dalam kehidupannya, mereka akan belajar mengasihi”

——terimakasih——


[1] Makalah ini pernah disampaikan dalam sosialisasi UUPA & KHA program Klaten PPKB Klaten tanggal 29 Desember 2011

[3] Buku pengertian Konvensi Hak anak oleh UNICEF