Posts Tagged ‘struktur sosial’

Pendahuluan

Kelembagaan (institutions) didefinisikan sebagai aturan-aturan dalam setiap struktur social, baik berwujud hukum, peraturan, penegakannya, kesepakatan-kesepakatan dan prosedur-prosedur (Alaerts, 1997) . Sedangkan lembaga sosial (social institution) adalah organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yg dianggap penting. lembaga berkembang berangsur-angsur dari kehidupan sosial manusia bila kegiatan penting tertentu dibakukan , dirutinkan, diharapkan dan disetujui, maka perilaku tersebut sudah melembaga. peran yg melembaga adalah peran yg telah dibakukan, disetujui dan diharapkan, dan biasanya dipenuhi dengan cara yg sungguh-sungguh dan dapat diramalkan . lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yg oleh masyarakat dipandang penting , atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yg berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. lembaga adalah proses-proses terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. jadi lembaga bukan : bangunan , kelompok atau organisasi. Lembaga sosialpun tidak bisa lepas dari struktur sosial. Struktur sosial budaya dalam masyarakat membentuk pranata Sosial yang diyakini dan dihidupi oleh masyarakt setempat. Pranata sosial itu sendiri adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan dasar tertentu dalam masyarakat. Pranata sosial lebih mengarah pada organisasi sosial tidak formal, karena perilaku berdasarkan norma ini biasanya membentuk pembedaan status sosial bertingkat. Seperti misalkan muncul istilah tokoh masyarakat, sesepuh (yang dituakan) atau ‘orang pintar’ (baca: orang yang mempunyai keahlian khusus). Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Maka ada istilah “lain ladang lain belalang”. Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat juga dipengarhui oleh banyak hal, misalkan teknologi, pendidikan bahkan politik. Karena itulah meskipun dijalani dari generasi ke generasi lembaga sosial bersifat dinamis. Pada umumnya fungsi kelembagaan adalah sebagai pedoman tingkah laku, baik tingkah laku organisasi maupun tingkah laku individu seperti warga desa Pacing melihat dan menanggani kasus kekerasan berbasis gender.

Kearifan lokal dalam penangganan kasus-kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing

Peta Desa Pacing

Desa Pacing merupakan bagian dari Kecamatan Wedi yang terletak sekitar 7 Km dari jalur transportasi utama antar propinsi. Desa dengan luas wilayah 108 Ha, sekitar 77 Ha (71,3 %) merupakan tanah sawah dengan irigasi setengah teknis. Sisanya sebagian besar adalah untuk rumah, bangunan dan pekarangan. Desa Pacing terdiri dari 3 dukuh, yaitu Dukuh Karangasem, Pacing dan Tegalsari, 6 RW dan 12 RT. Secara umum penduduk Desa Pacing adalah buruh (30%), petani (20%), pedagang (15%) dan lainnya (karyawan, PNS, IRT dan pelajar). Rata- rata buruh adalah buruh tani dan buruh pabrik tembakau dan buruh bangunan. Sebagian besar penduduk yang menjadi buruh sifatnya musiman. Saat musim tanam, mereka kembali menggarap sawah. Jauh sebelum ada undang-undang tentang perlindungan anak (UUPA), Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) atau undang-undang Tindak Pindana Perdagangan Orang (UU TPPO) masyarakat Pacing sudah mempunyai aturan atau norma dalam memecahkan kasus-kasus terkait kekerasan berbasis gender. Sistem tak tertulis yang terbangun didalam kelembagaan sosial ini adalah, korban biasanya mengadu pada tokoh masyarakat lalu ada mediasi diantara pelaku dan korban yang juga dihadiri oleh ketua RT atau ketua RW. Biasanya kasus-kasus KDRT yang biasa ditanggani oleh masyarakat umum (melalui kelembagaan sosial) masih sebatas kasus-kasus yang sudah menyangkut nyawa (kekerasan fisik). Pernah juga ada kejadian, ditengah jalan ada seorang laki-laki memukul seorang perempuan. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang tokoh masyarakat. Lalu tokoh masyarakat tersebut meminta bantuan beberapa pemuda untuk melerai dan terlebih menyelamatkan siperempuan. Tapi sayangnya emosi pemuda bangkit ketika si laki-laki (pelaku) tidak terima urusannya dicampuri. Bagi warga setempat (Pacing) urusan tersebut sudah menjadi urusan bersama (kekerasan fisik). Maka yang terjadi adalah si pelaku dikeroyok pemuda hingga babak belur. Setelah itu diketahui bahwa pelaku dan korban adalah sepasang suami-istri. Satu contoh tersebut dapat mengambarkan bahwa kekersan fisik tidak pantas langgeng didesa tersebut apalagi pelaku dan korban tidak setara (bukan lawannya). Berdasarkan penuturan pak Sri (salah satu tokoh masyarakat) “didaerah ini yang harus dibela terlebih dahulu jika ada kasus adalah perempuan dan anak. Apalagi perempuan janda”. Maka tidak heran contoh kasus diatas, hal pertama yang diambil oleh pemuda adalah melerai dan membantu si perempuan. Memprioritaskan perempuan dan anak juga tampak dalam respon tanggap darurat ketika ada bencana gempa bumi didesa ini. Yang ditolong pertama adalah perempuan dan anak. Kembali kekasus kekerasan berbasis gender. Seiring berjalannya waktu bentuk kelembagaan mulai dibenahi. Karena kasus-kasus dalam rumah tangga tidak hanya sebatas masalah fisik semata. Kasus kekerasan terdiri dari : kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Paradigma baru ini tidak mudah diterima oleh masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan kesetaraan gender. Masyarakat masih menganggap tabu mengurusi urusan rumah tangga orang lain (kecuali kekerasan fisik yang berujung maut). Pernah terjadi kasus kekerasan seksual (pemerkosaan anak 5tahun) bukan dianggap kasus kekerasan, karena bukan fisik. Maka kasus itu Cuma dianggap aib dan untuk meredakan masalah sianak (korban) pindah rumah. Maka Pendampingan dari luar dibutuhkan (tentu bekerjasama dengan warga setempat) agar kearifan lokal yang sudah ada untuk penanganan kasus tidak jalan ditempat. Benturan antara cara berpikir masyarakat secara umum dan penegakan hak asasi manusia terus terjadi jika tidak ada pendidikan kritis. Bekerjasama dengan warga yang terbuka dan sevisi mempermudah jalan mendiskusikan ulang kearifan lokal atau kelembagaan ini desa Pacing. Untuk mempercepat proses pendidikan kritis masyarakat maka dibutuhkan afirmatif action. Didesa Pacing ada kelompok yang secara khusus dibentuk oleh warga sendiri untuk menjadi pendamping jika ada kasus-kasus berbasis gender atau kasus anak. Hal ini untuk meminimalisir penolakan masyarakat seandainya ada kasus dalam rumah tangganya yang pada prisnipnya melanggar hak asasi manusia. Dan disisilain kelompok ini melindungi pendamping dari ancaman pelaku. Kelompok yang berkonstribusi dalam memperbaiki kelembagaan sosial terkait kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing ini diberi nama “Pos Pelayanan Terpadu Perlidungan Anak dan Perempuan”.

Pos Krisis diKkomunitas

Penutup

Proses membenahi kelembagaan sosial ini seiring dengan tujuan kemanusiaan, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat manusia. Seperti kejadian kasus perkosaan yang belum dianggap kejadian luar biasa secara kelembagaan sosial didesa Pacing (dan bisa jadi dibanyak daerah lainnya) maka sangat penting melibatkan banyak pihak yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama maupun perangkat desa untuk melakukan penyadaran bersama. Berdasarkan data SPEK-HAM sepanjang tahun 2011 yang paling menonjol selain KDRT adalah kekerasan seksual sebesar 38%. Bentuk kekerasan seksual adalah perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, dan pada tahun 2011 yang paling sering dilaporkan adalah perkosaan. Mengapa di kekerasan seksual justru banyak terjadi diwilayah pedesaan ? pertanyaan tersebut pasti akan muncul dan melahirkan berbagai asumsi. Apalagi jika mengetahui bahwa korban-korbannya masih anak-anak. Apakah moral masyarakat sudah merosot tajam, ataukah tidak paham soal seksualitas karena selama ini dianggap tabu ? Persoalan ini tidak sekedar berkaitan dengan moral saja. Kecenderungan pelaku kekerasan seksual sudah berusia dewasa dan berkeluarga, dengan pekerjaan sebagai petani, buruh serabutan, bahkan pengangguran. Ada pendapat bahwa seks bisa menjadi sarana rekreasi untuk menghilangkan stres. Tekanan hidup yang semakin berat saat ini dengan harga kebutuhan hidup yang semakin mahal sementara pendapatan tidak bertambah bisa saja menimbulkan stres. Kemudian untuk menghilangkan stres “pelaku” melakukan tindak kekerasan seksual. Melihat fakta diatas, sangat penting untuk membenahi kelembagaan sosial didaerah lain agar wujud norma yang baik dapat tercapai, karena nyatanya kasus kekerasan berbasis gender tersebar dimana-mana (tidak hanya diPacing).

Daftar Pustaka

Anonim, 2012 Peryataan ini dikutip http://massofa.wordpress.com/2007/12/14/pert-9/

Lestari, Eny, 2012 dipresentasi dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial kelas Pasca sarjana bulan Januari 2012

Molo, Dr M, 2011 disampaikan dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial pasca sarjana bulan desember 2011

SPEK-HAM, 2008. Fieldnote komunitas Pacing dalam program Women Access to Justice

SPEK-HAM, 2011. Data Kasus Kekerasan berbasis gender se Solo raya