Archive for the ‘Community Development’ Category

Pendahuluan

Kelembagaan (institutions) didefinisikan sebagai aturan-aturan dalam setiap struktur social, baik berwujud hukum, peraturan, penegakannya, kesepakatan-kesepakatan dan prosedur-prosedur (Alaerts, 1997) . Sedangkan lembaga sosial (social institution) adalah organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yg dianggap penting. lembaga berkembang berangsur-angsur dari kehidupan sosial manusia bila kegiatan penting tertentu dibakukan , dirutinkan, diharapkan dan disetujui, maka perilaku tersebut sudah melembaga. peran yg melembaga adalah peran yg telah dibakukan, disetujui dan diharapkan, dan biasanya dipenuhi dengan cara yg sungguh-sungguh dan dapat diramalkan . lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yg oleh masyarakat dipandang penting , atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yg berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. lembaga adalah proses-proses terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. jadi lembaga bukan : bangunan , kelompok atau organisasi. Lembaga sosialpun tidak bisa lepas dari struktur sosial. Struktur sosial budaya dalam masyarakat membentuk pranata Sosial yang diyakini dan dihidupi oleh masyarakt setempat. Pranata sosial itu sendiri adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan dasar tertentu dalam masyarakat. Pranata sosial lebih mengarah pada organisasi sosial tidak formal, karena perilaku berdasarkan norma ini biasanya membentuk pembedaan status sosial bertingkat. Seperti misalkan muncul istilah tokoh masyarakat, sesepuh (yang dituakan) atau ‘orang pintar’ (baca: orang yang mempunyai keahlian khusus). Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Maka ada istilah “lain ladang lain belalang”. Lembaga sosial yang ada didalam masyarakat juga dipengarhui oleh banyak hal, misalkan teknologi, pendidikan bahkan politik. Karena itulah meskipun dijalani dari generasi ke generasi lembaga sosial bersifat dinamis. Pada umumnya fungsi kelembagaan adalah sebagai pedoman tingkah laku, baik tingkah laku organisasi maupun tingkah laku individu seperti warga desa Pacing melihat dan menanggani kasus kekerasan berbasis gender.

Kearifan lokal dalam penangganan kasus-kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing

Peta Desa Pacing

Desa Pacing merupakan bagian dari Kecamatan Wedi yang terletak sekitar 7 Km dari jalur transportasi utama antar propinsi. Desa dengan luas wilayah 108 Ha, sekitar 77 Ha (71,3 %) merupakan tanah sawah dengan irigasi setengah teknis. Sisanya sebagian besar adalah untuk rumah, bangunan dan pekarangan. Desa Pacing terdiri dari 3 dukuh, yaitu Dukuh Karangasem, Pacing dan Tegalsari, 6 RW dan 12 RT. Secara umum penduduk Desa Pacing adalah buruh (30%), petani (20%), pedagang (15%) dan lainnya (karyawan, PNS, IRT dan pelajar). Rata- rata buruh adalah buruh tani dan buruh pabrik tembakau dan buruh bangunan. Sebagian besar penduduk yang menjadi buruh sifatnya musiman. Saat musim tanam, mereka kembali menggarap sawah. Jauh sebelum ada undang-undang tentang perlindungan anak (UUPA), Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) atau undang-undang Tindak Pindana Perdagangan Orang (UU TPPO) masyarakat Pacing sudah mempunyai aturan atau norma dalam memecahkan kasus-kasus terkait kekerasan berbasis gender. Sistem tak tertulis yang terbangun didalam kelembagaan sosial ini adalah, korban biasanya mengadu pada tokoh masyarakat lalu ada mediasi diantara pelaku dan korban yang juga dihadiri oleh ketua RT atau ketua RW. Biasanya kasus-kasus KDRT yang biasa ditanggani oleh masyarakat umum (melalui kelembagaan sosial) masih sebatas kasus-kasus yang sudah menyangkut nyawa (kekerasan fisik). Pernah juga ada kejadian, ditengah jalan ada seorang laki-laki memukul seorang perempuan. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang tokoh masyarakat. Lalu tokoh masyarakat tersebut meminta bantuan beberapa pemuda untuk melerai dan terlebih menyelamatkan siperempuan. Tapi sayangnya emosi pemuda bangkit ketika si laki-laki (pelaku) tidak terima urusannya dicampuri. Bagi warga setempat (Pacing) urusan tersebut sudah menjadi urusan bersama (kekerasan fisik). Maka yang terjadi adalah si pelaku dikeroyok pemuda hingga babak belur. Setelah itu diketahui bahwa pelaku dan korban adalah sepasang suami-istri. Satu contoh tersebut dapat mengambarkan bahwa kekersan fisik tidak pantas langgeng didesa tersebut apalagi pelaku dan korban tidak setara (bukan lawannya). Berdasarkan penuturan pak Sri (salah satu tokoh masyarakat) “didaerah ini yang harus dibela terlebih dahulu jika ada kasus adalah perempuan dan anak. Apalagi perempuan janda”. Maka tidak heran contoh kasus diatas, hal pertama yang diambil oleh pemuda adalah melerai dan membantu si perempuan. Memprioritaskan perempuan dan anak juga tampak dalam respon tanggap darurat ketika ada bencana gempa bumi didesa ini. Yang ditolong pertama adalah perempuan dan anak. Kembali kekasus kekerasan berbasis gender. Seiring berjalannya waktu bentuk kelembagaan mulai dibenahi. Karena kasus-kasus dalam rumah tangga tidak hanya sebatas masalah fisik semata. Kasus kekerasan terdiri dari : kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Paradigma baru ini tidak mudah diterima oleh masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan kesetaraan gender. Masyarakat masih menganggap tabu mengurusi urusan rumah tangga orang lain (kecuali kekerasan fisik yang berujung maut). Pernah terjadi kasus kekerasan seksual (pemerkosaan anak 5tahun) bukan dianggap kasus kekerasan, karena bukan fisik. Maka kasus itu Cuma dianggap aib dan untuk meredakan masalah sianak (korban) pindah rumah. Maka Pendampingan dari luar dibutuhkan (tentu bekerjasama dengan warga setempat) agar kearifan lokal yang sudah ada untuk penanganan kasus tidak jalan ditempat. Benturan antara cara berpikir masyarakat secara umum dan penegakan hak asasi manusia terus terjadi jika tidak ada pendidikan kritis. Bekerjasama dengan warga yang terbuka dan sevisi mempermudah jalan mendiskusikan ulang kearifan lokal atau kelembagaan ini desa Pacing. Untuk mempercepat proses pendidikan kritis masyarakat maka dibutuhkan afirmatif action. Didesa Pacing ada kelompok yang secara khusus dibentuk oleh warga sendiri untuk menjadi pendamping jika ada kasus-kasus berbasis gender atau kasus anak. Hal ini untuk meminimalisir penolakan masyarakat seandainya ada kasus dalam rumah tangganya yang pada prisnipnya melanggar hak asasi manusia. Dan disisilain kelompok ini melindungi pendamping dari ancaman pelaku. Kelompok yang berkonstribusi dalam memperbaiki kelembagaan sosial terkait kasus kekerasan berbasis gender di desa Pacing ini diberi nama “Pos Pelayanan Terpadu Perlidungan Anak dan Perempuan”.

Pos Krisis diKkomunitas

Penutup

Proses membenahi kelembagaan sosial ini seiring dengan tujuan kemanusiaan, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat manusia. Seperti kejadian kasus perkosaan yang belum dianggap kejadian luar biasa secara kelembagaan sosial didesa Pacing (dan bisa jadi dibanyak daerah lainnya) maka sangat penting melibatkan banyak pihak yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama maupun perangkat desa untuk melakukan penyadaran bersama. Berdasarkan data SPEK-HAM sepanjang tahun 2011 yang paling menonjol selain KDRT adalah kekerasan seksual sebesar 38%. Bentuk kekerasan seksual adalah perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, dan pada tahun 2011 yang paling sering dilaporkan adalah perkosaan. Mengapa di kekerasan seksual justru banyak terjadi diwilayah pedesaan ? pertanyaan tersebut pasti akan muncul dan melahirkan berbagai asumsi. Apalagi jika mengetahui bahwa korban-korbannya masih anak-anak. Apakah moral masyarakat sudah merosot tajam, ataukah tidak paham soal seksualitas karena selama ini dianggap tabu ? Persoalan ini tidak sekedar berkaitan dengan moral saja. Kecenderungan pelaku kekerasan seksual sudah berusia dewasa dan berkeluarga, dengan pekerjaan sebagai petani, buruh serabutan, bahkan pengangguran. Ada pendapat bahwa seks bisa menjadi sarana rekreasi untuk menghilangkan stres. Tekanan hidup yang semakin berat saat ini dengan harga kebutuhan hidup yang semakin mahal sementara pendapatan tidak bertambah bisa saja menimbulkan stres. Kemudian untuk menghilangkan stres “pelaku” melakukan tindak kekerasan seksual. Melihat fakta diatas, sangat penting untuk membenahi kelembagaan sosial didaerah lain agar wujud norma yang baik dapat tercapai, karena nyatanya kasus kekerasan berbasis gender tersebar dimana-mana (tidak hanya diPacing).

Daftar Pustaka

Anonim, 2012 Peryataan ini dikutip http://massofa.wordpress.com/2007/12/14/pert-9/

Lestari, Eny, 2012 dipresentasi dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial kelas Pasca sarjana bulan Januari 2012

Molo, Dr M, 2011 disampaikan dalam mata kuliah struktur dan organisasi sosial pasca sarjana bulan desember 2011

SPEK-HAM, 2008. Fieldnote komunitas Pacing dalam program Women Access to Justice

SPEK-HAM, 2011. Data Kasus Kekerasan berbasis gender se Solo raya

perempuan berkumpul untuk membahas isu yang aktual pada jamannya

Diawali dengan pengertian struktur sosial. Struktur sosial yaitu seperangkat sistem yang saling tergantung dan membentuk pola pada perilaku individu atau kelompok, institusi, maupun masyarakat. Ada lagi yang memaparkan bahwa struktur sosial adalah pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu. Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial. Struktur sosial budaya dalam masyarakat membentuk pranata Sosial yang diyakini dan dihidupi oleh masyarakt setempat. Pranata sosial itu sendiri adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan dasar tertentu dalam masyarakat. Pranata sosial lebih mengarah pada organisasi sosial tidak formal, karena perilaku berdasarkan norma ini biasanya membentuk pembedaan status sosial bertingkat. Seperti misalkan muncul istilah tokoh masyarakat, sesepuh (yang dituakan) atau ‘orang pintar’ (baca: orang yang mempunyai keahlian khusus). Disisi lain organisasi sosial ada yang mengarah keranah formal. Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Alasan berorganisasi Pada prinsipnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang membutuhkan satu sala lain. Disisi lain manusia juga berdiri sendiri sebagai makhluk individu yang bebas memilih (selagi masih pada jalurnya). Setiap individu mempunyai hak dasar dan kewajiban yang sama. Organisasi didirikan oleh sekelompok orang tentu memiliki alasan. Pernyataan diatas diperkuat oleh seorang pakar bernama Herbert G. Hicks mengemukakan dua alasan mengapa orang memilih untuk berorganisasi: a. Alasan Sosial (social reason), sebagai “zoon politicon ” artinya mahluk yang hidup secara berkelompok, maka manusia akan merasa penting berorganisasi demi pergaulan maupun memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat kita temui pada organisasi-organisasi yang memiliki sasaran intelektual, atau ekonomi. b. Alasan Materi (material reason), melalui bantuan organisasi manusia dapat melakukan tiga macam hal yang tidak mungkin dilakukannya sendiri yaitu: 1) Dapat memperbesar kemampuannya 2) Dapat menghemat waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu sasaran, melalui bantuan sebuah organisasi. 3) Dapat menarik manfaat dari pengetahuan generasi-generasi sebelumnya yang telah dihimpun.

Dalam kesempatan ini saya akan menulis tentang organisasi perempuan. Kesadaran bersama (collective awareness) ini menjadi modal awal ‘memanusiakan manusia’. “Saya tidak hendak melawan laki-laki, karena laki-laki bukanlah lawan saya. Saya hanyalah satu makhluk yang sepakat untuk menciptakan dunia ini bebas, damai dan bahagia yang harusnya dirasakan oleh semua orang tanpa kecuali (baca: tua-muda, laki-laki-perempuan) dengan berprinsip pada HAM. Perjuangan ini saya lakukan melalui perjuangan Hak Asasi Perempuan (HAP)” Maria S. Bagi saya lebih baik menyalakan lilin kecil daripada mengutuk kegelapan.” Perkembagan organsisasi perempuan dari periode ke periode “Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan” (Sarah Grimke, 1837) Sejarah mencatat bahwa perempuan dilibatkan diruang-ruang publik membutuhkan perjuangan panjang dan umurnyapun tidaklah setua manusia dibumi ini.

Organisasi sosial perempuan pertama muncul pada tahun 1912 yaitu Putri Mardika. Disebut sebagai organisasi (formal) perempuan yang pertama, perjuangan yang diangkat terkait dengan : Pendidikan untuk perempuan dan mendorong agar perempuan tampil di depan umum, membuang rasa “takut” dan “mengangkat” perempuan pada kedudukan yang sama seperti laki-laki. Seiring berjalannya waktu terbentuklah organisasi-organisasi perempuan lainnya (wanita Otomo, Aisyah, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulyo dan bagian-bagian wanita dalam SI, Jong Islamieten Bond dan Taman Siswa). Perjuangan organisasi perempuan ini mulai saling melengkapi takala kongres perempuan pertama terwujud. Tercatat tanggal 22-25 desember 1928 kongres perempuan pertama ini menghasilakan kesepakatan : 1. Dibentuk badan permufakatan organisasi-organisasi perempuan dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). 2. Kongres ini sekaligus merupakan kongres PPPI yang pertama. 3. PPPI bertujuan untuk menyebarluaskan informasi dan menjadi forum komunikasi antar organisasi perempuan. Banyak tantangan yang dirasakan oleh pencetus acara kongres “orang perempoean sadja kok mengadakan congres, jang hendak diremboeg disitioe itoe apa!” .

Kongres perempuan ini mampu meletakan tonggak “cara padang masyarakat” bahwa beroganisasi adalah hak setiap orang. Lalu bermunculanlah organisasi perempuan lain: Gerwis, Gerwani, Kowani (merupakan organisasi tetap, dengan tujuan penyusunan kekuatan yang berjangkauan luas dan dukungan sepenuhnya pada Republik. PERWARI, Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan sejumlah organisasi Kristen semuanya ikut masuk KOWANI). Pada periode 1966-1990an, organisasi sosial perempuan mengalami kemunduran sebagai organisasi yang berjuang untuk kepentingan bangsa. Pembunuhan karakter organisasi perempuan melalui penghancuran Gerwani yang pada saat itu mendukung PKI. Seterusnya Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, khususnya dalam mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang mendasarkan diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita. Penghancuran Gerwani sebagai organisasi perempuan menjadi “luka batin” (trauma) dan mampu mengubah cara pikir hingga menjadi sebuah kebiasaan (budaya) masyarakat bahwa urusan perempuan adalah urusan domestik.

Secara tidak langsung hal ini dilanggengkan melalui organisasi perempuan yang dikenal dengan sebutan PKK, meskipun visi organisasi ini sangat mulia. PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) adalah Organisasi sosial yang cukup lama keberadaannya. Visi organisasi PKK adalah “Terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju-mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan” . Organisasi ini indentik dengan perempuan. Melihat visinya organisasi ini mempunyai cita-cita yang mulia karena tidak melulu memikirkan dirinya sendiri (baca: perempuan). Meski PKK sudah cukup umur dan nyatanya hampir diseluruh penjuru tanah air ada, kenapa masih saja ketidakkesetaraan dan keadilan gender butuh perjuangan keras. Bahkan Sukarnopun pernah berkata “Dan kamu, kaum wanita Indonesia, akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saja memberikan peringatan kepada kaum laki-laki itu untuk memberi kejakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perdjuangan, tetapi kamu sendiri harus terdjun mutlak dalam perdjuangan.” (Soekarno dalam Sarinah, 1947: 320). Apa yang salah dengan organisasi sosial ini sehinga implementasi visi PKK terjebak pada hal-hal kerumahtanggaan. PKK identik dengan ‘lomba memasak dan arisan’ (meski hal ini tidak mutlak terjadi dimana-mana). Pemaparan singkat Prof. Dr.Saparinah Sadli dalam buku “berbeda tapi setara” ini bisa memotret pentingnya revitalisasi organisasi perempuan (baca : PKK) untuk keadilan dan kemajuan bersama. Psikologi mengubah persepsi dan perilaku orang. Dari perspektif psikologi, perilaku manusia merupakan interaksi kompleks dari aspek nature (yang ada dalam diri seseorang) dan nurture (apa yang tersedia dan diteruskan oleh orang dilingkungannya).

Oleh karena perkembangan psikologis seseorang berlangusung sejak seseorang dilahirkan, juga dikatakan sejak dilahirkan setiap orang mengembangkan perilakunya didalam suatu jaringan nilai. Sumber nilai bisa berasal dari budaya, tradisi, adat, atau ideologi negara dan undang-undang yang berlaku. Sementara dalam pandangan psikologi humanistik, setiap orang dilahirkan dengan ptensi logos (rasio) dan eros (emosi) harus mempunyai kesempatan untuk mengambangkan rasio dan emosinya secara optimal. Ini prinsip umum tentang perkembangan perilaku manusia. Lepas dari berbagai permasalahan yang timbul akibat dari reformasi, kebebasan organisasi perempuan untuk kembali berjuang ikut menuai hasilnya. Keterlibatan perempuan diruang publik sudah menampakan wajahnya.

—————————————————————————————————————————————

[1] Presentasi Dr.Mahendra Wijaya, M.Si dalam perkuliahan program penyuluhan pembangunan

[1] Dikutip dari http://massofa.wordpress.com/2007/12/14/pert-9/

[1] Peryataan ini dikutip dari http://massofa.wordpress.com/2007/12/14/pert-9/

[1] http://merrysarlita.blogspot.com/2009/11/organisasi-sosial.html

[1] Tercatat dalam prakata Manique Soesman dalam buku “Kongres Perempuan Pertama” tinjauan ulang oleh Susan Blackburn tahun 2007 diterbitakan yayasan Obor Indonesia.

[1] http://tp-pkkpusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=68&Itemid=73

[1] Dikutip dari buku “Berbeda tapi Setara Saparina Sadli, penyunting Imelda Bactiar diterbitkan Buku Kompas, April 2010

perempuan rural "demi sesuap nasi"

Didalam kaidah pemberdayaan masyarakat selalu tidak bisa dilepaskan dengan pembangunan. Atau bisa dikatakan berbicara tentang pemberdayaan masyarakat pasti berbicara tentang pembangunan. Pembangunan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana, dilaksanakan terus-menerus oleh pemerintah bersama-sama segenap warga masyarakatnya  atau dilaksanakan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, dengan menggunakan teknologi yg terpilih, untuk memenuhi segala kebutuhan atau memecahkan masalah-masalah yang sedang dan akan dihadapi, demi tercapainya perbaikan  mutu-hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat dari suatu bangsa yang merencanakan / dan melaksanakan pembangunan  tersebut [1]. Dari pengertian tersebut dapat ditarik garis lurus didalam pembangunan ada pemberdayaan masyarakat yang didalamnya lagi ada nilai ekonomi yang hendak dicapai (lihat rangkain kata perbaikan mutu-hidup atau kesejahteraan).

Dalam tulisan ini pemberdayaan Masyarakat dikhususkan tentang pemebrdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan tidak bisa lepas dari nilai ekonomi lebih khusus lagi terkait program pemberdayaan ekonomi.  Friedmann, 1992:111 dalam buku “pemberdayaan :konsep, kebijakan dan implementasi” karangan Onny S.Prijono berpendapat  “the one who brings home the bacon also has outority, greater attributions, and greater freedom of action” (akses dan pengendalian atas pendapatan bagi perempuan merupakan hal yang penting karena menyangkut otonominya)

Kenapa tulisan ini ‘hanya sempit’ membahas tentang pemberdayaan perempuan dan ekonomi? Tidak lain dan tidak bukan karena permasalah makro harus diselesaikan secara mikro. Hal itu juga terkait dengan isu MDGs yang sedang dicita-citakan bangsa Indonesia. Mari kita lihat point-point MDGs.

 Millennium Development Goals (MDGs) Target 1990-2015

  1. Pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrim.
  2. Tercapainya pendidikan dasar secara universal.
  3. Dikedepankannya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
  4. Pengurangan kematian anak BALITA.
  5. Perbaikan kesehatan ibu.
  6. Peperangan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya.
  7. Kepastian keberlanjutan lingkungan.
  8. Pengembangan kemitraan global untuk pembangunan.

Dari butir-butir MDGs posisi pemberdayaan perempuan terletak dipoint tiga. Pada tataran implementasi pemberdayaan ini berkaitan langsung dengan pemberantasan kemiskinan yang berarti bisa mengurangi kematian balita dan perbaikan kesehatan ibu. Jangka pangjang dari MDGs ini adalah pembangunan. Seperti apa yang telah diuraikan oleh prof Totok, bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dengan kesejahteraan. Begitu pula dengan rangkaian pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan ini.

Roem Patipasang dalam film dokumenternya tentang perempuan jawa mampu mengambarkan betapa terpinggirkannya perempuan. Dan semua peminggiran perempuan ini dibalut dalam nilai ekonomi karena terkait dengan kesejahteraan. Kesejahteraan perempuan tidak bisa berdiri sendiri. Seperti tujuan MDGs untuk meningkatkan taraf hidup perempuan, logikanya jika perempuan berdaya maka sisi kodrati perempuan yang berpotensi untuk hamil dan melahirkan akan lebih baik tingkatan taraf hidupnya. Dan itulah salah satu benang merah yang mengkaitkan antara perempuan, kesehatan ibu dan pengurangan kematian balita.

Disatu sisi wacana pemberdayaan ekonomi perempuan banyak masuk melalui program pemberdayaan perempuan yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan independensi perempuan, contohnya program-program kredit seperti Grameen Bank.Pendekatan yang digunakan dalam program-program pemberdayaan ini ditujukan untuk meningkatkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya ekonomi ditingkat rumah tangga (ruang domestik) dan di tingkat komunitas (ruang publik). Didalam wacana politik, pendekatan pembangunan berupaya melibatkan suara perempuan di dalam pengambilan keputusan di ruang publik.

Sekarang masuk ke sektor buruh, kita akan mendapati bahwa buruh di sektor formal merupakan kelompok yang paling banyak disentuh oleh wacana pemberdayaan, termasuk pemberdayaan buruh perempuan. Pengorganisasian buruh merupakan salah satu bukti nyata upaya formal pemberdayaan buruh yang bertujuan meningkatkankesejahteraan buruh melalui peningkatan posisi tawar dihadapan pemilik  modal dan pemerintah. Melihat bahwa buruh perempuan di sektor formal merupakan representasi nyata dari fenomena perempuan dan kerja yang seringkali dijadikan acuan untuk membahas masalah-masalah otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Konsep pengambilan keputusan dan relasi kekuasaan juga digunakan untuk menjelaskan ketidaksetaraan jender. Hanya saja, relasi kekuasaan di sini seringkali lebih menekankan pada relasi antara laki – laki dan perempuan di dalam ruang domestik (rumah tangga) (Young, 1992). Sebagai perempuan miskin yang menggantungkan hidupnya pada usaha-usaha skala mikro diperdesaan, relasi kekuasaan yang menekan kelompok perempuan tersebut tidak hanya datang dari laki-laki atau pun hanya didalam ruang domestik, tetapi penekanan terbesar justru datang dari struktur pasar. Perempuan miskin tidak hanya mengalami “kemiskinan” yang diakibatkan oleh struktur sosial yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki, tetapi juga struktur sosial.

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan untuk mencapai kesejahteraan atau peningkatan taraf hidup penting dikedepankan. Dan dengan inipula nilai ekonomi selalu terkait dengan pemberdayaan masyarakat.

Daftar Pustaka

Akatiga, 2003. Perempuan, Kemiskinan Dan Pengambilan Keputusan Jurnal analisa sosial vol.8, no 2 oktober tahun 2003

Butir-butir Millennium Development Goals (MDGs) Target 1990-2015 untuk bangsa Indonesia

Projono, Onny S, 2006. “pemberdayaan :konsep, kebijakan dan implementasi”

Roem Patipasang, 2009. Film dokumenter ‘Perempuan Jawa’. Produksi Insist

Totok, Mardikanto. 2011.Presentasi tentang Penyuluhan ‘Pembangunan’. Presentasi ini diberikan saat kuliah matrikulasi program Penyuluhan (Pemberdayaan Masyarakat)


[1] Presentasi Pak Totok, diberikan saat kuliah matrikulasi.